Merasa


Merasa

“Merasa” itu pintu masuk menuju : BENAR YANG SEBENARNYA.

Maksud dari “Merasa” : Mengetahui kesalahan atau cela dari diri sendiri.

Kesalahan atau tercela, itu tentu terjerumus, JIKA TIDAK DIBENARKAN atau DIROBAH.

Membetulkan atau merobah itu tidak bisa terlaksana, jika tidak didasari NIAT.

Tidak akan ada Niat : sebelum merasa.

Sepi dari rasa merasa : Gagal dan tidak akan berhasil.

Mengetahui kesalahan atau cela diri, untuk bisa menjadi jelas hanya dengan cara TEKUN dan TELITI.

Sehingga “Niat” untuk mengetahui kesalahan diri itu, dengan tekun dan teliti, itu modal nomor satu, bagi orang yang mencari ilmu yang nyata.

Semakin tekun dan telaten, semakin cukup modalnya, dan sebaliknya : Semakin kurang merasa diri, mengakibatkan kurang tekun.

Berusaha membesarkan “merasa”, dan juga tekun dan telaten mencari kesalahan diri, sebaiknya harus diusahakan, agar supaya JANGAN SAMPAI KURANG CUKUP.

Jika manusia berniat dengan sungguh-sungguh mencari ilmu yang nyata, itu dalam perbuatannya selalu tetap dalam keadaan : WASPADA dan TEPAT memperhatikan KEHENDAK DIRI dalam setiap harinya. Jangan menoleh ketika MENGAWASI HASRAT DIRI, Jangan berubah dalam memperhatikan tumbuhnya “Niat”.

DALAM MENGENDALIKAN HASRAT DAN Konsentrasi dalam NIAT, itu yang disebut tekun, telaten membetulkan kesalahannya atau merubah cela dirinya.

Mengendalikan dan konsentrasi itu, singkat katanya : Menjalankan kewajiban menyembah yang dilakukan dalam siang dan malam harinya.

Semakin ajeg/tekun dalam berusaha, semakin hilang lah penutup dan kotorannya.

Semakin berkurang kesalahannya, semakin mendekat kepada Anugerah (Sifat Ketuhanan).

Mata yang tertutup kotoran mata, melihat : Dunia ini gelap penuh penghalang bagaikan kabut tebal.

Tidak melihatnya mata atas terangnya matahari itu, karena tertutup kotoran yang bernama kotoran mata.

Jika saja pikiran percaya begitu saja kepada penglihatan mata , itu merupakan kesalahan yang rangkap, yaitu : yang pertama, dalam menetapkan bahwa duni ini, itu gelap penuh dengan kabut. Kedua, karena tidak mengetahui bahwa matanya tertutup kotoran mata.

Pikiran yang percaya begitu saja kepada mata yang menipu demikian itu, menjadi gambaran bagi manusia yang tidak bisa merasa.

Dalam MENETAPKAN gelap atas dunia, itu sama maknanya dengan dalam menetapkan TIDAK ADA KOTORAN di matanya. Ketepan dua macam yang salah itu tadi, MENGHILANGKAN NIAT untuk membersihkan kotoran. Sehingga, modal nomor satu bagi seseorang yang mencari terangnya mata yang tertutup kotoran mata itu : MENGAKUI ADANYA KOTORAN MATA YANG BERADA DI MATA, serta berniat MEMBERSIHKAN KOTORAN MATA-NYA.

Penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa badan itu, itu juga sering menipu seperti penglihatan, ketika ketempatan kotoran atau ketika sakit. Yang seperti itu, jika PIKIRANNYA TERBAWA, merupakan KESALAHAN YANG RANGKAP bagi pikiran.

Penjelasan di atas itu sebagai contoh : SUKMA ketika terbawa arus oleh Pancaindra (Angan-angan dan rahsa).

Sukma sebagai ibarat : Pikrian. Mata sebagai ibarat : Angan-angan, rahsa. Hawa nafsu diibaratkan sebagai kotoran mata.

Kotoran atau karena sakitnya pancaindra menyebabkan TIDAK BISA MELIHAT kepada YANG NYATA, seperti penglihatan ketika ditak melihat kepada terangnya cahaya matahari.

Yang seperti itu jika saja, sukma hanya percaya apa adanya saja (Terbawa arus) kepada angan-angan dan rahsanya, yang menyebabkan kebodohannya menjadi rangkap dua, yaitu : yang pertama, ketika tidak melihat (tidak percaya) kepada Yang Nyata Adanaya, Yang kedua, ketika tidak bisa melihat (tidak mengakui) terhadap kotoran atau sakit yang bertempat di angan-angan dan rahsanya. Yang pada akhirnya menetapkan bahwa terangnya Yang Nyata itu menjadi TIDAK ADA serta dirinya merasa TIDAK KOTOR.

Mengakui atau mengetahui kotoran dari angan-angan dan rahsa itu tadi, agar bisa MENJADI TERANG, jika dengan cara ketekunan dan teliti di dalam ketenangan (bersih). Semakin tekun dan semakin teliti, semakin terang atas kesalahan dari angan-angan, dan juga cacatnya rahsa. Semakin jelas dan semakin berhati-hati ketika konsentrasi melihat Yang Nyata, semakin berkurang kesalahan karena kotoran, menjadi semakin terang dan jelas penglihatan rahsanya.

Mata yang selamanya tidak bisa melihat kepada terangnya cahaya matahari, disebut “buta”, dan mata yang bisa melihat disebut “Melihat”.

Melihat itu keberuntungan, buta itu sial.

Makna melihat Yang Nyata itu HILANG KESALAHAN DAN SAKITNYA PANCAINDRA, karena telah hilang kotorannya menjadikan semakin terangnya melihat Yang Nyata.

Makna buta kepada Yang Nyata itu, selamanya tidak bisa melihat kepada Yang Nyata, karena pancaindranya sakit atau penuh kotoran (hawa nafsu) sehingga tidak bisa melihat.

Yang demikian itu jika dirasa-rasakan, ternyata : Buta kepada Yang Nyata itu bisa dikatakan Buta yang sangat buta, artinya : Lebih buta dibanding kebutaan mata sejak lahir.

Karena : Buta kepada matahari itu hanya sebentar, dan hanya remeh saja. Sedangkan buta kepada Yang Nyata, itu sangat lama sekali, dan untuk urusan penting yang teramat sangat penting.

Manusia yang MENGAKUI terhadap adanya Yang Nyata, serta tidak bisa melihatnya diakuinya DIKARENAKAN KOTORAN DAN SAKITNYA ANGAN-ANGAN DAN RAHSANYA, manusia yang seperti itu sudah termasuk ribuan dari yang bisa merasa.

Dari daya kekuatan merasa itu tadi, maka akan bisa menumbuhkan niat untuk mencari kesalahan atau kotorannya.

Sedangkan KETEKUNANNYA dan TELITINYA itu, tergantung dari KEPATUHANNYA, yaitu : KUATNYA NIAT.


NYANYIAN MACAPAT : KINANTHI

Mangka kang aran laku // lakune ngelmu sejati // tan dahwen pati openan // tan panasten nota jail // tan njurungi ing kaardan // amung eneng mamrih ening. (Wedhatama Winardi)

Sedangkan yang disebut menjalankan // menjalankan ilmu sejati // tidak usil // tidak mudah terbakar hatinya dan tidak jahil // tidak menuruti hawa nafsu // hanya tenteram agar menjadi hening (tenang) .

Sakitnya Kesalahan


Sakitnya Kesalahan Dan Enaknya Kebenaran

Sakitnya kesalahan bernama : Yang harus dialami (panandang).

Enaknya kebenaran disebut : PAHALA

Benar dan salahnya dan juga enak dan tidak enaknya (sakit), disebut KARMA yang bermakna “Perbuatan” (Panggawe) dan Buahnya Perbuatan.

Yang dimaksud merasa salah : Mengerti dan mengakui kebenaran pengadilan kodrat.

Sikap hati tentang merasa dan mengakui kebenaran pengadilan, disebut : Bisa menerima, yang dalam Bahasa Arab disebut dengan “Ikhlas”. Itu bagi hati atas pengadilan Kodrat. Yang dalam bahasa Melayu : Sikap hati terhadap keadilan Kodrat.

Rela itu menghilangkan anggapan : SIKSA. Atas apa yang dialaminya, menetapkan KEPERLUAN.

Dan Ikhlas itu yang menghilangkan akibat yang dirasakan oleh “hati”, karena sikap hati SELARAS dengan berjalannya Pengadilan.

Mencari “Kebenaran” menghasilkan : Penerang dan kesantausaan, yaitu kelepasan dan merdeka.

Seseorang yang selalu menggerutu, resah, mengeluh, iri hati dan sebagainya, itu berasal dari : Tidak selarasnya sikap hati dengan adanya pengadilan.

Semua itu mengandung rasa : GUGATAN kepada berjalannya kodrat, yang dirasa tidak adil.

Contoh lainnya : Timbulnya mengeluh, marah, nafsu, sakit hati, menyangkal, mangkel, sakit hati, masgul, benci, kecewa, panas dan sebagainya, itu sudah termasuk cucu dari “kesalahan”. Walau pun tidak bermakna MENGGUGAT kepada pengadilan, akan tetapi salah karena “tidak mengetahui atas kesalahan hati” ketika itu.

Kemudian : Walau pun hanya : Iba, tersentuh hatinya, getun, takut, gila, terperanjat dan sejenisnya, oleh karena itu termasuk “Ribuan jenis kesakitan” padahal “sakit: itu akibat dari kesalahan, sehingga ternyata adalah berasal dari kesalahan, yang tidak diketahui asal mulanya..

Kesalahan

Tidak Enaknya Kesalahan Atau Siksa Dari Dosa


Merasa salah atau merasa kotor itu mengarahkan kepada menelaah keadilan kodrat.

Menelaah atas keadilan kodrat itu mengarahkan kepada menelaah kesalahan diri sendiri, yang disebut merasa.

Jika bertemu dengan sesuatu yang tidak mengenakkan hati, ingatlah bahwa itu : Bagian luar, tidak menjadi sesuatu bagi : yang di dalam. Sedangkan intinya : Walau pun ada gunung meletus dan perang bharata Yudha sekali pun, itu bagian luar saja.

Jika menemui sesuatu yang tidak mengenakkan hati, ingatlah, bahwa yang tidak mengenakan itu sebenarnya adalah PERBUATAN DARI HATI ITU SENDIRI, bukan dari “ YANG ADA DI LUAR HATI.

Jika mempunyai dasar batin yang benar dan bersih yang sebenarnya, tidak mungkin tidak merasa enak. Sedangkan bersih itu, ada yang bersih bagi : Urusan luar, ada yang bersih urusan dalam.

Jika menemukan sesuatu yagn tidak mengenakan hati, ingatlah bahwa adanya siksaan itu karena dosa, Artinya : Menjadi adanya tidak enak itu berasal dari kesalahan. Tidak mungkin jika bukan karena dosa, atau : tidak mungkin tumbuhnya tidak enak itu disebabkan karena benar dan bersih.

Tidak usah terlalu jauh menelusuri dosa yang sudah lama terjadi. Dosa yangs ekarang ini saja yang sudah jelas (ketika sedang mengalami tidak enak saja).

Bentuk dosanya adalah : Mengapa harus merasakan yang membuat tidak enaknya hati, padahal itu sudah jelas membawa masuk kepada tidak enak, mengapa tidak menghindar saja. Apakah itu bukan kesalahan? Karena kesalahan, apakah tidak menerima siksaannya? Kesimpulannya : Yang memerintah untuk menjalani yang membuat tidak enaknya hati itu tadi.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan rasa hati, sudahlah, jangan bertanya lagi, tentu karena berasal dari gerak hatinya sendiri yang menyebabkan menjadi susah, (salah dalam perbuatan), menyimpang dari benar yang sebenarnya, yaitu benarnya bagian dalam, bukan benar bagi bagian luar. Tanda bahwa itu salah : Terbukti menjadi ujud yang tidak mengenakan hati itu tadi.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, dan tidak bisa menyimpulkan seperti penjelasan di atas itu, karena memang benar-benar sulit.

Ingatlah : Apakah “TIDAK BISA” itu bukan suatu kesalahan? Apakah “Tidak bisa” atau “yang sulit” itu akan dijadikan pedoman untuk menghindar dari kesalahannya itu?. Tidak mengetahui bahwa “Tidak bisa” dan “Sulit” itu sudah termasuk merupakan kesalahan? Artinya : Itulah adalah wilayahnya salah, atau anak keturunannya kesalahan. Sehingga yang diingat : hanya karena “BELUM TAHU” saja atas kesalahannya. Sedangkan “Tidak tahu: itu adalah anak cucu dari kesalahan juga.

Jika bersjumpa lagi dengan sesuatu yang tidak mengenakan hati. Jangan hanya mengetahui saja : Yang ada di luar hati. Ketahui juga : yang ada di dalam hati, yaitu di dalam hatinya sendiri (Jangan mengingat-ingat YANG DIRASA-RASAKAN, Ingatlah YANG DIGUNAKAN untuk merasakannya).

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, bertanyalah kepada pikirannya sendiri, apakah TIDAK ENAK itu bermanfaat? Jika bermanfaat, seharusnyalah giat dalam menjalaninya.

Jika sudah mengerti : bahwa tidak ada gunanya, namun jika diterjang, itu salah siapa? Menurut ilmu luar saja, sudah bertanya sebagai berikut : Yang bermanfaat itu IKHTIARNYA atau KECEWANYA?

Jika menemukan sesutu yang tidak mengenakan hati. Jika belum bisa ditemukan atas kesalahan sebagai penyebabnya, itu berarti masih salah dalam mencarikesalahannya. Tanda salahnya : Karena belum bisa menemukannya itu tadi.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, namun ternyata karena atas kesalahan orang lain diluar hati dan sudah disepakati oleh orang banyak bahwa seharusnya atau sebenarnya memang tidak enak (karena sudah menjadi pemahaman umum) ingatlah saja bahwa itu menjadi sebutan “benar”, belum menjadi benar yang sebenarnya.

Yang di maksud dari buku ini : BENAR YANG SEBENARNYA, bukan hanya BENAR saja. Benar itu hanya untuk urusan luar. Sedangkan “Benar yang sebenarnya” itu untuk urusan dalam. Jika hanya menerima yang biasa saja, tidak usah membicarakan urusan dalam (batin) Karena hal itu akan dihindari oleh yang mencari : Benar yang sebenarnya yang sulit teramat sulit untuk menempuhnya.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, cobalah bertanya kepada Budi-nya sendiri APAKAH RASA JATI IKUT MERASA TIDAK ENAK, KARENA SUDAH BENAR, PADA UMUMNYA DAN KESEPAKATAN MANUSIA SEDUNIA. Tentu tidak. Karena rasa jati belum tentu menganggap baik atas yang sudah dianggap baik oleh rahsa.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, ingatlah kepada kata-kata : “CINTA itu bisa membutakan”. Rasa tidak enak itu karena “Terbelenggu cinta kepada dirinya sendiri”. Itu, yang membutakan hati. Butanya hati : Lupa bahwa diri sendiri itu bukan benar yang sebenarnya atas keadaan yang tertuju atas rasa Cinta dari yang memenuhi dunia.

Jika menemukan sesuatu yang tidak mengenakan hati, TANYAILAH DIRIMU SENDIRI : Wahai..... pencari, tunjukan kemampuanmu, karena sekarang aku sedang mengalami yang tidak enak. Apalah gunanya aku mencari ilmu batin, jika rasa senangku hanya jika : Mendapatkan apa yang pada umumnya menyenangkan atau : Susah jika menemukan yang menyusahkan. Jika hanya pada umumnya hanya seperti itu saja. Tidak ada gunanya mencari ilmu batin.

Lanjut baca

Syurga dan Neraka

Adanya Surga Dan Neraka

Merasakan atau ingat, terhadap kebaikan Tuhan, itu disebut, mengetahui cara bersyukur.

Merasakan atau mengingat-ingat terhadap kebaikan sesama makhluk hidup, itu disebut mengetahui cara berterima kasih.

Mengetahui cara bersyukur, itu berarti, menyampaikan rasa berterima kasih kepada Tuhan.

Mengetahui selalu mendapat kebaikan dari sesamanya, itu berarti merasa telah menerima kebaikan dari sesamanya.

Mengetahui cara bersyukur itu, adalah lawan dari mengeluh, resa, khawatir, merasa kurang beruntung dan sebagainya.

Mengetahui cara berterima kasih dan selalu bersyukur itu sering salah dalam penerapannya, karena keduanya itu adalah bermakna MERASA TELAH MENERIMA KEBAIKAN.

Mengeluh, resa, khawatir, merasa kurang beruntung, itu mengandung makna merasa TIDAK ADIL atas Takdir Tuhan yang menimpa dirinya.

Muak, tidak enak hati atau marah itu berarti, menganggap tidak adil atas perbuatan orang lain terhadap dirinya.

Tanda-tanda orang yang sudah dewasa, MANUSIA SEJATI, itu PERTAMA : Jika selalu merasa bersyukur, jarang mengeluh, KEDUA : Jika selalu merasakan atas kebaikan orang lain dan jarang marah-marah.

Ciri-ciri orang yang belum dewasa MANUSIA YANG SEJATI, itu, PERTAMA : Jika sering berkeluh kesah, jarang bisa memaknai rasa bersyukur. KEDUA, Jika selalu mengingat-ingat kejelekan orang lain. Dan jarang ingat kepada kebaikan orang lain.

Senang menghitung-hitung kebaikan Tuhan itu mempengaruhi banyak bersyukur dan, jarang mengeluh.

Senang menghitung-hitung kebaikan orang lain, itu mempunyai daya menyebabkan suka berterimakasih kepada sesamanya, dan jarang susah di dalam perasaannya.

Seseorang yang membiasakan diri bersyukur dan berterimakasih itu mempercepat kedewasaan dari sifat manusianya yang sejati.

Seseorang yang membiasakan berkeluh kesan dan marah-marah memperlambat kedewasaan dari sifat manusianya yang sejati.

Seseorang yang merasakan bersyukur dan menerima kenyataan dirinya akan mendapatkan ketenangan hati, ketenteraman hati dan terang daya berpikirnya.

Orang yang merasakan atas rasa syukurnya dan rasa berterima kasih itu di dalam hatinya ketempatan biji yang dayanya menumbuhkan dingin dan terang. Biji tersebut yang menarik menuju ke dalam surga.

Seseorang yang selalu merasa berkeluh kesah dan selalu marah maka di dalam hatinya akan ditumbuhi biji yang dayanya berhawa panas dan gelap. Biji tersebut itu yang menarik adanya Neraka.

Surga dan neraka itu, sebenarnya adalah RASA PERASAAN bukan TEMPATNYA.

Surga itu bersal dari RASA yang sejuk dan terang (Rasa enak), Neraka itu berasal dari RASA yang panas dan kegelapan (Rasa tidak enak).

Seseorang yang selalu tenang hatinya itu, akan selalu digiring ke Surga.

Seseorang yang hatinya selalu panas dan gelap, selalu digiring ke neraka.

Rasa sejuk dan terang, dan rasa panas dan gelap itu disebut : Alam Sahir, sedangkan Surga – Neraka itu : disebut alam Kabir.

Sehingga, alam Kabir itu, bermakna : Kelanjutan dari rasa dan perasaan.

KEBERADAAN alam Kabir : berasal dari ADANYA alam Sahir, akan tetapi keberadaannya bersamaan.

Hilangnya alam Kabir, karena hilangnya alam Sahir. Akan teapi terjadi hilangnya itu, bersamaan.

Semua manusia itu, bisa membuat Surga dan bisa membuat Neraka.

Surga buatan itu, yang bisa merasakannya hanya bagi yang membuatnya itu sendiri. Sedangkan orang lain yang tidak ikut membuatnya : Tidak akan bisa ikut merasakannya.

Neraka buatan itu, yang bisa merasakannya hanya bag yang membuatnya itu sendiri, Yang tidak ikut membuatnya, tidak bisa ikut merasakannya.

Manusia yang sedang mengalami alam surga : Tidak percaya bahwa neraka itu ada. Hanya surga yang dikiranya yang ada. Karena perasaan bagi yang sedang berada di surga, dimana-mana pun tempatnya, adalah surga semua. Di seluruh dunia walau di cari pun tidak akan bisa ditemukan yang bernama neraka. Tidak ada tempat walau sebesar lubang jarum yang ada nerakanya.

Singkat kata : Angkasa raya yang luasnya tidak berbatas : Semuanya berisi kesenangan yang menerangi hati. Semua isi dunia tidak ada yang tidak menyenangkan hati, dan tidak ada yang tidak membuat terangnya hati. Semua yang terlihat semuanya menyenangkan dan menerangi hati.

Manusia yang sedang mengalami alam neraka, tidak akan percaya bahwa surga itu ada. Hanya neraka saja yang dikiranya ada. Karena didalam perasaanya bagi yang sedang berada di neraka : Dimana pun saja, neraka semua. Walau pun dicari di seluruh dunia, tidak ada yang bernama surga.

Singkat kata : Angkasa raya yang luasnya tidak berbatas : Semuanya berisi rasa panas, kebingungan, gelisah dan membuat gelap pikirannya.. Semua isi dunia tidak ada yang tidak membuat panas dan kesusahan hati,. Semua yang terlihat membuat kesusahan dan memanaskan serta membuat gelap perasaan.

Seseorang yang sedang merasakan surga; mengapa mengira bahwa neraka itu tidak ada : itu bagaikan manusia yang masih di alam dunia. .Ketika tidak mempercayai bahwa surga dan neraka itu memang ada. Dikiranya hanya alam dunia ini saja yang ada. Karena di seluruh dunia yang tanpa batasa, walau pun dicari : tidak ada tempat selebar lobang jarum yang ada surga dan nerakanya. Yang ada hanya keduniaan saja.

Seseorang yang sedang merasakan neraka, mengapa tidak mempercayai bahwa surga itu ada : itu tidak berbeda dengan manusia yang masih berada di alam dunia : Ketika tidak percaya bahwa alam halus itu ada. Karena, walau pun dicari di seluruh dunia tidak akan bisa ditermukan yang bernama Alam Kehalusan.

Jika ada yang bertanya : “Apakah surga dan neraka itu ADA atau TIDAK?”, itu sebaiknya kepada yang bertanya diminta terlebih dahulu untuk berpikir tentang arti kata ADA dan TIDAK ADA, itu ada artinya atau tidak ada artinya.

Jika sudah mengerti arti kata ADA dan kata TIDAK ADA, barulah akan bisa mengerti, bahwa surga itu memang benar adanya bagi orang yang mengalaminya. TIDAK ADA : bagi yang tidak mengalami. Neraka itu ADA bagi yang mengalami. TIDAK ADA : bagi yang tidak mengalami.

Di bawah ini, jadikanlah sebagai contoh:

Suara itu, ada atau kah tidak? Bagi yang memiliki pendengaran menyebutnya : ADA, Bagi yang tidak memiliki pendengaran : Menyatakan TIDAK ADA.

Suasana terang, segala rupa dan warna, itu ADA apa TIDAK ADA?. Bagi yang memiliki penglihatan menyebutnya ADA. Bagi yang tidak memiliki penglihatan : Menyebutnya TIDAK ADA.

Surga itu, ADA ataukah TIDAK? Yang memiliki perasaan terang dan dingin, (Enak) menyebutnya ADA. Yang tidak memiliki perasaan terang dan dingin, menyebutnya : TIDAK ADA.

Neraka itu, ADA ataukah TIDAK? Yang memiliki perasaan Gelap dan rasa skit (tidak enak): Menyebutnya ADA. Yang tidak memiliki, Menyebutnya TIDAK ADA.

Dunia ini, ada apa tidak, Yang memiliki ingatan dan memiliki rasa perasaan : Menyebutnya ADA. Yang tidak memiliki daya ingat dan tida memiliki rasa perasaan mengatakan TIDAK ADA.

Tuhan itu ADA apa TIDAK? Yang memiliki budi dan rasa : menyebutkan ADA, yang tidak memiliki BUDI dan RASA : Mengatakan TIDAK ADA. Contoh lainnya :

Buah pare itu enak ataukah tidak? Yang senang memakannya, mengatakan enak. Yang tidak mau memakannya mengatakan tidak enak.

Si naya baik atau buruk? Yang menyenanginya mengatakan baik. Yang membencinya mengatakan buruk. Begitulah seterusnya.

ooOOoo

SERAT WULANG REH : WIRANGRONG

1

Den samya marsudeng budi, // wiweka dipunwaspaos, // aja dumeh dumeh bisa muwus, // yen tan pantes ugi, // sanadyan mung sakecap, // yen tan pantes prenahira.

Berusahalah memperbaiki budi pekerti // pertimbangan harus di dahulukan // jangan hnnya karena bisa berbicara // jika hal itu tidak pantas // walau hanya sepatah kata // jika tidak tepat penempatannya.


2

Kudu golek mangsa ugi, // panggonan lamun miraos, // lawan aja age sira muwus, // dununge den kesthi, // aja age kawedal, // yen durung pantes rowangnya.

Harus mencari waktu yang tepat itu seharusnya // tempatnya juga harus diperhitungkan jika ingin bicara // penempatannya harus tepat // jangan segera diucapkan // jika belum pantas siapa teman bicaranya.


3

Rowang sapocapan ugi, // kang pantes ngajak calathon, // aja sok metua wong calathu, // ana pantes ugi, // rinungu mring wong kathah, // ana satengah micara.

Teman bertutur kata // yang pantas diajak membicarakan sesuatu // jangan sembarang bicara // ada yang tidak pantas juga // jika didengar oleh orang banyak // ketika sedang berbciara.


4

Tan pantes akeh ngawruhi, // mulane lamun miraos, // dipun ngarah-arah ywa kabanjur, // yen sampun kawijil, // tan kena tinututan, // mulane dipun prayitna.

Tidak pantas jika banyak yang mendengarnya // sehingga jika ingin bicara // dipertimbangkan terlebih dahulu jangan sampai sembarang bicara // jika ucapan telah keluar // tidak bisa ditarik kembali // maka dari itu berhati-hatilah dalam berbicara.

Lanjut baca

Penyimpangan

MEMBONGKAR KESESATAN DAN PENYIMPANGAN GERAKAN DAKWAH IKHWANUL MUSLIMIN
Oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary Al-Medany 

SEJARAH IKHWANUL MUSLIMIN 
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam – yang didirikan oleh Hasan Al-Banna (1906-1949 M) di Mesir pada tahun 1941 M. Diantara tokoh-tokoh pergerakan itu ialah : Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i, dan lain sebagainya. Sejak awal mula didirikan pergerakan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani, seorang penganut Syi`ah Babiyah, yang berkeyakinan wihdatul wujud. Dan keyakinan bahwa kenabian dan kerasulan diperoleh lewat usaha, sebagaimana halnya menulis dan mengarang. Dia (Jamaludin Al-Afghani) kerap mengajak kepada pendekatan Sunni-Syiah [1] bahkan juga mengajak kepada persatuan antar agama [2] Gerakan itu lalu bergabung ke banyak negara seperti: Syiria, Yordania, Iraq, Libanon, Yaman, Sudan dan lain sebagainya [3]. Ia (Jamaludin Al-Afghani) telah dihukumi /dinyatakan oleh para ulama negeri Turki, dan sebagian masyayikh Mesir sebagai orang Mulhid, kafir, zindiq, dan keluar dari Islam. Farid bin Ahmad bin Manshur menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani pada beberapa hal, diantaranya: 1. Menempatkan politik sebagai prioritas utama 2. Mengorganisasikan secara rahasia 3. Menyerukan peraturan hukum demokrasi 4. Menghidupkan dan menyebarkan seruan nasionalisme 5. Mengadakan peleburan dan pendekatan dengan Syiah Rafidhah, berbagai kelompok sesat, bahkan kaum Yahudi dan Nashrani. [4] Oleh sebab itu, jamaah Ikhwanul Muslimin banyak memiliki penyimpangan dari kaidah-kaidah Islam yang dipahami As-Salaf As-Shalih. Di antara penyimpangan tersebut misalnya: TIDAK MEMPERHATIKAN MASALAH AQIDAH DENGAN BENAR Syaikh Abdul Aziz bin Bazz berkata sebagaimana dalam majalah Al-Majalah edisi 806 tanggal 25/2/1416 H halaman 24 :..”Harakah Ikhwanul Muslimin telah dikritik oleh para ahlul ‘ilmi yang mu’tabar ? terkenal-.Salah satunya (karena) mereka tidak memperhatikan masalah da’wah kepada tauhid dan memberantas syirik serta bid’ah. Maka sewajibnya bagi Ikhwanul Muslimin untuk memperhatikan da’wah Salafiyah da’wah kepada tauhid, mengingkari ibadah kepada kubur-kubur dan meinta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati seperti Hasan, Husein, Badawi dan sebagainya.Wajib bagi mereka untuk mempunyai perhatian khusus dengan makna Laa Ilaaha Illallah Karena inilah pokok agama dan suatu yang pertama kali didakwahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia di kota Mekkah!!) Bukti nyata bahwa jama’ah Ikhwanul Muslimin tidak memeperhatikan perkara aqidah dengan benar, adalah banyaknya anggota-anggota yang jatuh dalam kesyirikan dan kesesatan, serta tidak memiliki konsep aqidah yang jelas. Hal itu juga bahkan terjadi pada para pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang menjadi ikutan bagi anggota-anggotanya seperti: Hasan Al-Banna, Said Hawwa, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Ghazali, Umar Tilimsani, Musthafa As-Siba`i dan lain sebagainya. Seorang tokoh Islam (Muhammad bin Saif Al-A`jami) menceritakan bahwa Umar Tilimsani yang menjabat Al-Mursyidu Al-`Am dalam organisasi Ikhwanul Muslimin dalam jangka waktu yang lama, pernah menulis buku yang berjudul “Syahidu Al-Mihrab Umar bin Al-Khattab (Umar bin Al-Khattab yang wafat syahid dalam mihrab) “Buku ini penuh dengan ajakan kepada syirik, menyembah kuburan, membolehkan beristighatsah kepada kuburan dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla di samping kubur. Tilimsani juga menyatakan bahwa kita tidak boleh melarang dengan keras penziarah kubur yang melakukan amalan seperti itu. Coba simak teks perkataannya pada hal 225-226: “Sebagian orang menyatakan bahwa Rasulullah memohonkan ampun untuk mereka (penziarah kubur) tatkala beliau masih hidup saja. Tetapi saya tidak mendapatkan alasan pembatasan itu pada masa hidup beliau saja. Dan di dalam Al-Quran, tidak ada yang menunjukkan adanya pembatasan tersebut”. Di sini, dia menganggap bahwa memohon kepada Rasulullah sesudah kematian beliau, beristighatsah dan beristghfar dengan perantaraannya, hukumnya boleh-boleh saja. Pada hal 226 dia juga menyatakan: “Oleh karena itu saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa beliau telah memohonkan ampunan dikala beliau masih hidup, maupun sesudah matinya – bagi siapa yang mendatangi kuburan yang mulia”. Pada halaman yang sama dia juga menyebutkan :”Oleh karena itu, kita tidak perlu berlaku keras dalam mengingkari orang yang meyakini karamah para wali, sambil berlindung kepada mereka di kuburan-kuburan mereka yang disucikan, berdoa kepada mereka tatkala tertimpa kesusahan. Yang juga mereka yakini bahwa karamah para wali tersebut termasuk kemu`jizatan para nabi.” Kemudian pada halaman 231 ia menyatakan: “Maka kita tidak perlu memerangi wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka”. Demikianlah, tidak ada satupun bentuk syirik terhadap kuburan yang tidak dibolehkan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin itu. Karena kegandrungannya dan kecintaannya yang mendalam terhadap bentuk-bentuk perbuatan syirik dan kufur semacam inilah, sehingga Tilimsani menyatakan: “Maka kita tidak perlu memerangi (orang yang mereka anggap) wali-wali Allah Azza wa Jalla dan orang-orang yang menziarahi serta berdoa disamping kuburan-kuburan mereka”. Tilimsani sendiri juga hidup di Mesir yang terdapat banyak kuburan-kuburan dimana dilakukan syirik terbesar, bahkan lebih besar dari syirik ummat jahiliyah pertama.Kuburan-kuburan dijadikan tempat berthawaf dan tempat memohon segala sesuatu yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah . Di antara yang mereka anggap wali, kebanyakannya adalah kumpulan orang-orang zindiq dan mulhid, seperti: Sayyid Da`iyyah fathimi yang tak pernah melakukan shalat. Diantaranya juga ada Kaum Sufi yang “keblinger”, seperti: Syadzili, Dasuki, Qonawi dan lain sebagainya, yang ada disetiap kota dan pedesaan. Orang-orang itulah yang jadi wali-wali mereka. Dan kuburan-kuburan mereka itulah yang dipublikasikan oleh ”Al-Mursyidu Al-`Am/pemimpin umum” dari Ikhwanul Muslimin itu. Dia kembali menyatakan pada halaman 231 sebagai berikut: ”Meskipun hati saya sudah demikian cinta, suka dan bergantung kepada wali-wali Allah itu, meskipun saya amat gembira dan senang menziarahi mereka di tempat-tempat kediaman abadi mereka dengan melakukan hal-hal merusak aqidah tauhid – menurut anggapannya – akan tetapi saya tidak berorientasi penuh untuk mempropagandakannya. Hal itu hanya sebatas soal intuisi/perasaan. Dan saya katakan kepada mereka yang bersikap ekstrim dalam mengingkarinya: “Tenanglah, di dalam masalah ini tidak ada perbuatan syirik, penyembahan berhala, maupun ilhad/kekufuran.” Maka apalagi yang bisa diharapkan dari keyakinan yang merancukan aqidah dan tauhid, sehingga berdoa kepada orang yang sudah mati disamping kuburan-kuburan mereka kala ditimpa kesusahan dianggap hanya soal perasaan yang tidak mengandung syirik dan penyembahan berhala, seperti yang diungkapkan Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimun tersebut ? Mushthafa As-Siba`i, Al-Mursyidu Al-`Am dari Ikhwanul Muslimin dari Syiria pernah menggubah qashidah yang dibacakannya di kuburan Nabi. Yang di antara bait-baitnya adalah: ”Wahai tuanku, wahai kekasih Allah. Aku datang diambang pintu kediamanmu mengadukan kesusahanku karena sakit. Wahai tuanku, telah berlarut rasa sakit dibadanku. Karena sangat sakitnya, akupun tak dapat mengantuk maupun tidur…..” [5] Dari kedua bait diatas, kita dapat memahami bahwa dia telah melakukan istighatsah kepada Rasulullah yang jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam . Hasan Al-Banna juga mengambil aqidah dari thariqot sufiah quburiah yang bernama Al-Hashofiah. Dia berkata dalam kitabnya Mudzakkirot Ad-Dakwah Ad-Adalah’iah hal-27 :”Aku bersahabat dengan para anggota kelompok hasafiah di Damanhur. Dan aku selalu hadir setiap malam (bersama mereka) di mesjid At-Taubah.” Berkata Jabir Rozaq dalam kitabnya “Hasan Al-Banna bi Aqlami talamidzatihi wa ma’asirihi” hal-8 :”Dan di Damanhur mejadi kokohlah hubungan Hasan Al-bana dengan anggota-anggota al-Hashofiah,dan beliau selalu hadir setiap malam bersama mereka di masjid at-Taubah. Dia ingin mengambil (pelajaran) thariqot mereka sehingga berpindah dari tingkatan mahabbah ke tingkatan at-taabi’ al-mubaya”[6] Bahkan Hasan Al-Banna sendiripun sebagai pendiri jamaah Ikhwanul Muslimin, nampak sebagai orang yang awam dalam perkara aqidah tauhid. Disebutkan dalam buku Al-Waqafat hal. 21-22, bahkan dia pernah berkata: ”Dan doa kepada Allah ababila disertai tawassul/mengambil perantaraan salah satu makhluknya adalah perselisihan furu` dalam cara berdoa, dan bukan termasuuk perkara aqidah.” Dalam masalah asma` dan sifat Allah, dia termasuk pengikut madzhab Tafwidh, yaitu madzhab yang tidak mau tahu dan meyerahkan begitu saja perkara asma` dan sifat Allah, tanpa meyakini apa-apa. Itu adalah madzhab sesat, bukan sebagaimana madzhab As-Salaf As-Shalih yang meyakini makna-makna asma` dan sifat Allah, namun menyerahkan hakikat/bagaimana asma` dan sifat tersebut kepada-Nya. Hasan Al-Banna menyatakan dalam buku Al-Aqaid hal. 74: ”Sesungguhnya pembahasan dalam masalah ini (asma` dan sifat), meski dikaji secara panjang lebar, akhirnya akan menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu tafwidh (tersebut di atas)[7] Tokoh besar mereka yang lain yang serupa keadaannya adalah Sa`id Hawwa. Dia beranggapan bahwa umat Islam pada setiap masanya, (lebih banyak -red) yang beraqidah Asy-`Ariyyah-Maturidiyyah (termasuk golongan pentakwil sifat). Sehingga dengan itu beliau berangapan bahwa itulah aqidah yang sah dalam Islam.[8]. Sayyid Quthub pun memiliki aqidah wihdatul wujud. Dia berkata dalam kitabnya Dzilalu Al-Qur’an jilid 6 hal-4002 : “Hakekat yang ada adalah wujud yang satu. Maka di alam ini tidak ada yang hakekat kecuali hakekat Allah. Dan di sana tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu”. Tentang Sayyid Qutb, maka sungguh Syaikh Robi’ Ibnu Hadi Al-Madkhali telah mewakili segenap para ‘ulama dan para penuntut ilmu dalam mengungkap kesesatan dan penyimpangannya (Sayyid Qutb), yaitu dalam 4 buah kitabnya : 1. Adzwa’ Islamiyyah ‘alaa Aqidati Sayyid Quthub, 2. Mathoin Sayyid Quthub fii Ash-Shahabah 3. Al-awaashim minma fii kutubi sayyid Quthub min Al-Qawasim 4. Al-Haddul faashil bainal haqqi wal bathil. Ringkasnya “celaannya (Sayyid Qutb) kepada Musa Alaihi Salam, celaannya kepada para shahabat Radhiallahu anhum, khususnya Ustaman bin Affan Radhiallahu anhu , perkataannya bahqwa Al-Qur’an adalah Mahluk, dan WIihadtul Wujud, Menta’thil (mengingkari) sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah, tidak menerima hadits-hadits ahad yang shahih dalam aqidah,..dsb- lebih jelasnya bacalah kitab-kitab diatas dan sudah tercetak Selain itu dia juga tidak bisa membedakan antara tauhid rububiah dan tauhid uluhiah. Dan dia menyangka bahwa yang menjadi perselisihan antara para Nabi dengan umat mereka adalah dalam masalah tauhid rububiah bukan uluhiah. Dia berkata dalam Dziilalu Al-Qur’an 4/1847 : ” Bukanlah perselisihan seputar sejarah antara jahiliah dan Islam, dan bukan pula peperangan antara kebenaran dan thogut pada masalah uluhiah Allah ….” dan juga perkataannya dalam hal-1852: “Hanya saja perselisihan dan permusuhan adalah pada masalah siapakah Rob manusia yang menghukumi manusia dengan syari’at-Nya dan mengatur mereka dengan perintah-Nya dan memerintahkan mereka untuk beragama dan taat kepada-Nya” [9] MENGHIDUPKAN BID’AH Jamaah Ikhwanul Muslimin juga banyak sekali menghidupkan bidah. Sa`id Hawwa menyatakan dalam bukunya At-Tarbiyyah Ar-Ruhiyyah (pembinaan mental): ”Ustadz Al-Banna beranggapan bahwa menghidupkan hari-hari besar Islam (selain dua hari `ied), adalah termasuk tugas harakah-harakah (gerakan) Islam. Beliau juga menganggap bahwa suatu hal yang aksiomatik alias pasti, kalau dikatakan bahwa pada zaman modern ini memperingati hari besar semacam maulid nabi dan yang sejenisnya, dapat diterima secara fiqih dan harus mendapat prioritas tersendiri. Dikisahkan juga oleh Mahmud Abdul Halim dalam bukunya Ahdats Shana`atha At-Tarikh (1/109) bahwa ia sering bersama-sama Hasan Al-Banna menghadiri maulid nabi. Ia (Hasan Al-Banna) sendiri terkadang maju kepentas untuk menyanyikan nasyid (nyanyian) maulid nabi dengan suara keras dan nyaring. Setelah menukil banyak kisah Al-Banna tersebut, Syaikh Farid berkomentar: ”Semoga Allah memerangi pelaku-pelaku bidah. Alangkah bodohnya mereka, alangkah lemahnya akal mereka. Sesungguhnya mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas dilakukan bahkan oleh anak kecil sekalipun.” Dalam lembaran-lembaran majalah Ad-Dakwah, yang dipimpin oleh Umar At-Tilimsani tatkala dia masih menjabat salah satu Mursyid partai Ikhwanul Muslimin (nomor 21 hal 16/Rabi`ul Awwal 1398 H), tercetus banyak ungkapan yang penuh dengan kebidahan dan ghuluw (pengkhutusan/berlebih-lebihan) terhadap Nabi. Di antaranya dalam makalah di bawah judul : Fi dzikra maulidika ya dhiya` Al-Alamin (dalam memperingati hari kelahiranmu, wahai sinar alam semesta) TA’ASHUB / FANATIK TERHADAP PENDAPAT ULAMANYA Syaikh Muqbil menyatakan dalam Al-Makhraj Minal Fitan hal. 86: ”(banyak) dari kalangan pengikut Ikhwanul Muslimin yang mengetahui bahwa mereka bodoh dalam masalah dien. Apabila kita menyatakan kepadanya : ini halal, atau ini haram adalah sudah kita tegakkan dalil-dalilnya, ia akan mengelak sambil menjawab: Yusuf Qordhawi di dalam al-halal wal haram bilang begini, Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, atau Hasan Al-Banna di dalam Ar-Rasail atau Sayid Quthub dalam tafsir Fi Dzi lalil Quran bilang begini! Bolehkah dalil-dalil yang jelas dipatahkan dengan ucapan-ucapan mereka?” Karena itulah banyak diantara mereka yang masih meremehkan hukum ”merokok” misalnya, yang telah ditegaskan keharamannya oleh ulama ahlul hadits, lewat berbagai tinjauan, karena mengikuti fatwa syaikh mereka Yusuf Qordhawi yang tidak jelas dalam menerangkan hukumnya. MANHAJ DAKWAH YANG MELENCENG DARI SYARIAH Kerusakan manhaj dakwah mereka diawali oleh propaganda “Tauhidu As-Sufuf” (menyatukan barisan) kaum muslimin yang mereka dengung-dengungkan. Dimana propaganda itu berkonotasi mengabaikan adanya berbagai penyimpangan aqidah yang membaluti tubuh umat Islam. Menurut mereka, cukup kita meneriakan : wa Islamah (wahai Islam), maka kita pun bersatu. Hasan Albana pernah berkata : “Dakwah Ikhwanul Muslimin tidaklah ditujukan untuk melawan satu aqidah, agama, ataupun golongan, karena faktor pendorong perasaan jiwa para pengemban dakwah jama’ah ini adalah berkeyakinan fundamental bahwa semua agama samawi berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu atheisme [10] Utsman Abdus Salam Nuh mengomentari ucapan itu dalam bukunya At-Thoriq ila Jama’ati Al-Umm halaman 173: “Bagaimana bisa disebut dakwah Islamiah, kalau tidak sudi memerangi aqidah-aqidah yang menyimpang, sedangkan Islam sendiri diturunkan untuk memberantas berbagai penyimpangan keyakinan dan membersihkan hati manusia dari keyakinan-keyakinan itu. Inti pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan gerakan yang disebut Pan Islamisme, yang menyatukan umat Islam dengan berbagai keyakinannya dibawah satu panji. Ikhwanul Muslimin juga banyak mempergunakan berbagai sarana yang tidak sesuai dengan syari’at untuk mengembangkan dakwahnya. Diantaranya : Mengadakan pertunjukan sandiwara. Dalam hal ini, Syaikh Muqbil memberikan tanggapan :”Sesungguhnya pertunjukan sandiwara itu, kalaupun tidak dikatakan dusta, amatlah dekat dengan kedustaan. Kita meyakini keharamannya, selain itu juga bukan merupakan sarana dakwah yang dipergunakan ulama kita terdahulu.” Imam Ahmad meriwayatkan satu hadits dari Ibnu Mas’ud , bahwasanya Rosulullah bersabda : Manusia yang paling keras disikda hari kiamat nanti ada tiga : Orang yang membunuh seorang nabi atau dibunuh olehnya, seorang pemimipin yang sesat dan menyesatkan, dan pemain lakon (mumatsil).[11] Beliau melanjutkan :”Yang dimaksud mumatsil disitu adalah pelukis atau orang yang melakonkan perbuatannya di hadapan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kamus”. [12]. Para ulama juga lebih mengharamkan (sandiwara) lagi, tatkala sering terjadi dalam sandiwara seseorang harus memerankan diri sebagai orang kafir, bahkan penyembah berhala yang mempraktekkan ibadahnya di hadapan patung. Dan banyak lagi yang lainnya. Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan menjelaskan :”Pendapat saya , bahwa sandiwara (itu) Tidak Boleh!! Karena bebarapa sebab : 1. Tujuan sandiwara adalah membuat para hadirin tertawa 2. Tasyabuh dengan orang-orang yang tidak baik 3. Cara da’wah seperti ini bukanlah cara da’wah yang dicontohkan nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Salafusholih. Sandiwara-sandiwara tersebut tidaklah dikenal kecuali dari orang-orang kafir yang menular kepada kaum muslimin dengan alasan da’wh.dpun menjdikn sandiwara sebagai wasilah da’wah ini Juga Tidak Benar, karena wasilah da’wah adalah Taufiqiyah/ sudah tetap diatur.[13] Syaikh Bakar Abu Zaid berkata dalam bukunya : At-Tamstil” hal 18: “Akhirnya para ulama peneliti mengetahui bahwa bibit sandiwara ini dari syiar ibadah orang-orang Yunani.” .Syaikh Hamud ibnu Abdillah at-Tuwajiri juga menegaskan :”Sesungguhnya menjadikan sandiwara sebagai sarana da’wah kepada Allah bukanlah termasuk Sunnah Rasul dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.Akan tetapi ini adalah cara da’wah yang diada-adakan di jaman kita. Lihat Al Hujjatul Qowiyyah hal :64-64 oleh Syaikh Abdussalam Ibnu Barjas, cet Daarussalaf MENDAHULUKAN URUSAN POLITIK DARIPADA SYARI’AT Meski secara lahir, jama’ah Ikhwanul Muslimin selalu menggembar-gemborkan harus tegaknya kekuasaan Islam, namun secara mengenaskan mereka hanya menjadikan itu sebagai slogan umum yang aplikasinya meninggalkan dakwah tauhid dan menjejali orang awam hanya dengan propaganda politik mereka. Kita sudah bosan dengan dengungan politik yang membuat manusia jahil dengan agamanya, mereka hidup terpecah belah dengan tidak mengenal agamanya, tidak mengenal bagaimana shalat yang sesuai dengan sunnah RasulNya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam .Apakah kita akan menyibukkan manusia dengan politik ???Padahal keadaan umat seperti ini ???Mengapa manusia tertipu dengan slogan ini , padahal jika mansuia belajar dien, maka dengan sendirinya manusia akan menolak yang berasal dari luar agamanya. Contohnya, ketika mereka mengakui bahwa syarat pemimpin Islam yang ideal adalah ilmu dan taqwa, mereka justru mengangkat Mujadidi sebagai pemimpin Afghanistan, hanya demi menyenangkan banyak pihak termasuk dunia barat. Hal itu diungkapkan oleh Abdullah Al-Azham dalam majalah Al-Jihad nomor 52 maret 1989 : “Mujadidi adalah profil pemimpin ideal menurut dunia Internasional khususnya barat. Hal itu akan memuluskan jalan Afghanistan untuk menjadi negara yang diakui di dunia secara formal…..” [14] juga akan kita dapati, bahwa para pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lebih banyak berbicara dan mengulas tentang politik daripada aqidah, dalam majalah, buku-buku bahkan di podium-podium, sampai-sampai dikala menyampaikan khotbah jum’at.” Masih banyak lagi penyimpangan dakwah Ikhwanul Muslimin yang tak mungkin dirinci disini satu persatu. Semuanya sudah banyak diulas ulang oleh para ulama ahlul Hadits. Yang jelas, gerakan ini turut membidani kelahiran berbagai gerakan sejenis di berbagai negara. Di Libanon seperti At-Tauhid, di Palestina Hammas, di Mesir Jama’ah Islamiah, di Aljazair FIS, di Malaysia Darul Arqom, di Indonesia seperti NII (Negara Islam Indonesia) yang sebelumnya dikenal dengan Darul Islam atau DI TII, Al-Usroh, Komando Jihad, JAMUS (Jama’ah Muslimin), dan lain-lain. [Disalin dari tulisan Membongkar Kesesatan Dan Penyimpangan Gerakan-Gerakan Islam, Penulis Abu Ihsan Al-Atsari Al-Medany, Ta’liq Abu Unaisah Al-Atsary dan Ibnu Bilal Al-Banyuwangi] _______ Footnote [1].Tidak. Demi Allah. Hal ini tidak akan terwujud. Semua ini hanyalah khayalan biasa laksana menanam di lautan. Bagaimana tidak, dapatkah api bersatu dengan air ?? [2]. Lihat dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam. Oleh Farid bin Ahmad bin Manshur hal. 36 [3]. Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah hal. 19-25 [4]. Lihat Ad-Dakwah hal 47 [5]. Lihat Al-Waqafat hal. 21-22 [6]. Lihat Da’wah al-Ikhwan al-Muslimin hal-63 [7]. Syaikhul Islam berkata dalam kitabnya “Daaru ta’arubil aqli wa naqli ,Juz 1 hal 201-205 :”Adapun tafwidh, maka sudah merupakan hal yang maklum, bahwa Allah memerintahkan kita semuanya untuk merenungi Al Qur’an, memahaminya, dan menghayatinya, maka bagaimanakah kita akan berpaling dari memahaminya dan mendalaminya,…hingga beliau berkata : “Dari sini jelaslah bahwa perkataan ahlu tafwidh yang mengaku mengikuti Sunnah dan Salaf termasuk sejelek-jelek perkataan ahlu bid’ah dan ilhad (lih pula qowaidhul mutsla hal 44 oleh Syaikh Sholeh Utsaimin) [8]. Lihat jaulah fil fiqhain – Sa`id Hawwa [9]. Lihat Adwa’un Islahiah karya Syaikh Robi’ pada hal-65 [10]. Lihat Qofilah Al-Ikhwan As-siisi 1/211 [11]. Llihat Al-Makhroj ? Minal Fitan halaman 90 [12]. Dalam musnadnya I/407, berkata Ahmad Syakir dalam ta’liknya IV/65 :Sanadnya shahih , dan di shahihkan pula oleh Syaikh Al Bany dalam Ash Shohihah no. 281 [13]. Lihat. Al Ajwibatu mufidah hal :62-63 [14]. Lihat At-Thoriq 214

Referensi: https://almanhaj.or.id/1653-membongkar-kesesatan-dan-penyimpangan-gerakan-dakwah-ikhwanul-muslimin.html
loading...