Merasa


Merasa

“Merasa” itu pintu masuk menuju : BENAR YANG SEBENARNYA.

Maksud dari “Merasa” : Mengetahui kesalahan atau cela dari diri sendiri.

Kesalahan atau tercela, itu tentu terjerumus, JIKA TIDAK DIBENARKAN atau DIROBAH.

Membetulkan atau merobah itu tidak bisa terlaksana, jika tidak didasari NIAT.

Tidak akan ada Niat : sebelum merasa.

Sepi dari rasa merasa : Gagal dan tidak akan berhasil.

Mengetahui kesalahan atau cela diri, untuk bisa menjadi jelas hanya dengan cara TEKUN dan TELITI.

Sehingga “Niat” untuk mengetahui kesalahan diri itu, dengan tekun dan teliti, itu modal nomor satu, bagi orang yang mencari ilmu yang nyata.

Semakin tekun dan telaten, semakin cukup modalnya, dan sebaliknya : Semakin kurang merasa diri, mengakibatkan kurang tekun.

Berusaha membesarkan “merasa”, dan juga tekun dan telaten mencari kesalahan diri, sebaiknya harus diusahakan, agar supaya JANGAN SAMPAI KURANG CUKUP.

Jika manusia berniat dengan sungguh-sungguh mencari ilmu yang nyata, itu dalam perbuatannya selalu tetap dalam keadaan : WASPADA dan TEPAT memperhatikan KEHENDAK DIRI dalam setiap harinya. Jangan menoleh ketika MENGAWASI HASRAT DIRI, Jangan berubah dalam memperhatikan tumbuhnya “Niat”.

DALAM MENGENDALIKAN HASRAT DAN Konsentrasi dalam NIAT, itu yang disebut tekun, telaten membetulkan kesalahannya atau merubah cela dirinya.

Mengendalikan dan konsentrasi itu, singkat katanya : Menjalankan kewajiban menyembah yang dilakukan dalam siang dan malam harinya.

Semakin ajeg/tekun dalam berusaha, semakin hilang lah penutup dan kotorannya.

Semakin berkurang kesalahannya, semakin mendekat kepada Anugerah (Sifat Ketuhanan).

Mata yang tertutup kotoran mata, melihat : Dunia ini gelap penuh penghalang bagaikan kabut tebal.

Tidak melihatnya mata atas terangnya matahari itu, karena tertutup kotoran yang bernama kotoran mata.

Jika saja pikiran percaya begitu saja kepada penglihatan mata , itu merupakan kesalahan yang rangkap, yaitu : yang pertama, dalam menetapkan bahwa duni ini, itu gelap penuh dengan kabut. Kedua, karena tidak mengetahui bahwa matanya tertutup kotoran mata.

Pikiran yang percaya begitu saja kepada mata yang menipu demikian itu, menjadi gambaran bagi manusia yang tidak bisa merasa.

Dalam MENETAPKAN gelap atas dunia, itu sama maknanya dengan dalam menetapkan TIDAK ADA KOTORAN di matanya. Ketepan dua macam yang salah itu tadi, MENGHILANGKAN NIAT untuk membersihkan kotoran. Sehingga, modal nomor satu bagi seseorang yang mencari terangnya mata yang tertutup kotoran mata itu : MENGAKUI ADANYA KOTORAN MATA YANG BERADA DI MATA, serta berniat MEMBERSIHKAN KOTORAN MATA-NYA.

Penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa badan itu, itu juga sering menipu seperti penglihatan, ketika ketempatan kotoran atau ketika sakit. Yang seperti itu, jika PIKIRANNYA TERBAWA, merupakan KESALAHAN YANG RANGKAP bagi pikiran.

Penjelasan di atas itu sebagai contoh : SUKMA ketika terbawa arus oleh Pancaindra (Angan-angan dan rahsa).

Sukma sebagai ibarat : Pikrian. Mata sebagai ibarat : Angan-angan, rahsa. Hawa nafsu diibaratkan sebagai kotoran mata.

Kotoran atau karena sakitnya pancaindra menyebabkan TIDAK BISA MELIHAT kepada YANG NYATA, seperti penglihatan ketika ditak melihat kepada terangnya cahaya matahari.

Yang seperti itu jika saja, sukma hanya percaya apa adanya saja (Terbawa arus) kepada angan-angan dan rahsanya, yang menyebabkan kebodohannya menjadi rangkap dua, yaitu : yang pertama, ketika tidak melihat (tidak percaya) kepada Yang Nyata Adanaya, Yang kedua, ketika tidak bisa melihat (tidak mengakui) terhadap kotoran atau sakit yang bertempat di angan-angan dan rahsanya. Yang pada akhirnya menetapkan bahwa terangnya Yang Nyata itu menjadi TIDAK ADA serta dirinya merasa TIDAK KOTOR.

Mengakui atau mengetahui kotoran dari angan-angan dan rahsa itu tadi, agar bisa MENJADI TERANG, jika dengan cara ketekunan dan teliti di dalam ketenangan (bersih). Semakin tekun dan semakin teliti, semakin terang atas kesalahan dari angan-angan, dan juga cacatnya rahsa. Semakin jelas dan semakin berhati-hati ketika konsentrasi melihat Yang Nyata, semakin berkurang kesalahan karena kotoran, menjadi semakin terang dan jelas penglihatan rahsanya.

Mata yang selamanya tidak bisa melihat kepada terangnya cahaya matahari, disebut “buta”, dan mata yang bisa melihat disebut “Melihat”.

Melihat itu keberuntungan, buta itu sial.

Makna melihat Yang Nyata itu HILANG KESALAHAN DAN SAKITNYA PANCAINDRA, karena telah hilang kotorannya menjadikan semakin terangnya melihat Yang Nyata.

Makna buta kepada Yang Nyata itu, selamanya tidak bisa melihat kepada Yang Nyata, karena pancaindranya sakit atau penuh kotoran (hawa nafsu) sehingga tidak bisa melihat.

Yang demikian itu jika dirasa-rasakan, ternyata : Buta kepada Yang Nyata itu bisa dikatakan Buta yang sangat buta, artinya : Lebih buta dibanding kebutaan mata sejak lahir.

Karena : Buta kepada matahari itu hanya sebentar, dan hanya remeh saja. Sedangkan buta kepada Yang Nyata, itu sangat lama sekali, dan untuk urusan penting yang teramat sangat penting.

Manusia yang MENGAKUI terhadap adanya Yang Nyata, serta tidak bisa melihatnya diakuinya DIKARENAKAN KOTORAN DAN SAKITNYA ANGAN-ANGAN DAN RAHSANYA, manusia yang seperti itu sudah termasuk ribuan dari yang bisa merasa.

Dari daya kekuatan merasa itu tadi, maka akan bisa menumbuhkan niat untuk mencari kesalahan atau kotorannya.

Sedangkan KETEKUNANNYA dan TELITINYA itu, tergantung dari KEPATUHANNYA, yaitu : KUATNYA NIAT.


NYANYIAN MACAPAT : KINANTHI

Mangka kang aran laku // lakune ngelmu sejati // tan dahwen pati openan // tan panasten nota jail // tan njurungi ing kaardan // amung eneng mamrih ening. (Wedhatama Winardi)

Sedangkan yang disebut menjalankan // menjalankan ilmu sejati // tidak usil // tidak mudah terbakar hatinya dan tidak jahil // tidak menuruti hawa nafsu // hanya tenteram agar menjadi hening (tenang) .
loading...